September 05, 2013

Home




Oleh: Abu Zur’ah ath-Thaybi

Ustadz Fariq Gasim Anuz, Lc bercerita tentang seorang relawan kecil yang menawarkan dirinya untuk membantu kegiatan sosial di Islamic Center Jeddah. Beliau berkisah:

Kisah Relawan Usia 12 Tahun

1:: Mendaftarkan Diri Menjadi Relawan
Di pagi hari yang cerah, pertengahan bulan Dzulhijjah 1425 H atau akhir bulan Januari 2005 M, saya bersama seorang rekan berada di dalam kantor Islamic Center kota Jeddah. Pagi itu kami dikejutkan oleh kedatangan seorang anak kecil. Dia mengucapkan salam dan kami balas dengan salam pula. Lalu ia menghampiri dan menyalami kami.
Anak kecil itu memperkenalkan dirinya, ia bernama Ahmad. Dia diantar oleh supirnya yang menunggu di lobi. Adapun ibu dan adik Ahmad menunggu di mobil.
Di ruang sekretariat, anak kecil itu menyampaikan maksudnya. Ia berkata, “Saya ingin menjadi relawan di kantor dakwah ini.”
Saya amat kagum mendengar pernyataannya ini. Dan, saya menyambut baik atas maksudnya, “Kira-kira pada bidang apa kamu bisa membantu kami?”
“Saya bisa komputer dan bahasa Inggris, “ jawabnya.
Untuk memastikan, saya minta bantuan rekan sekantor berbicara kepadanya dalam bahasa Inggris, karena saya kurang mengerti bahasa Inggris.
Setelah terjadi percakapan dengan Ahmad, rekan saya mengatakan, “Bagus sekali bahasa Inggrisnya.”
Saya katakan, “Saya tidak bisa memutuskan apakah kamu bisa diterima atau tidak, insya Allah akan saya sampaikan kepada direktur –yang juga seorang relawan–, beliau bekerja di kantor telkom Saudi. Tapi, saya optimis kalau orang seperti kamu akan diterima, insya Allah.”
Lalu, saya minta no telepon Ahmad. Dan saya berikan juga nomor telepon kantor kepadanya.
Saya katakan, “Insya Allah, ada kegiatan dakwah untuk jamaah Haji Indonesia yang akan pulang ke tanah air. Apakah kamu bisa ikut membantu mendampingi saya membagikan kaset atau buku di bandara haji atau di Madinatul Hujjaj (asrama haji) di Jeddah?”
“Insya Allah, saya akan minta izin orang tua dulu,” jawab Ahmad
***

Di sore hari, ibu Ahmad menelpon ke kantor kami. Ia mencari saya dan menanyakan, “Apa betul, Anda mengajak anak saya pergi ke bandara haji untuk kegiatan dakwah?”
“Betul, jika dia berminat,” jawab saya.
Ibunya mengatakan, “Kami sangat senang bila Anda mengajak Ahmad ke bandara haji untuk membantu kegiatan dakwah. Saya berharap anak saya ini kelak bermanfaat bagi umat Islam, agar dia ikut bergembira jika umat Islam bergembira, dan ikut bersedih jika umat Islam sedang mendapat bencana dan musibah, supaya  anak saya tidak membedakan orang menurut suku dan kebangsaan. Hanya saja, karena ia masih kecil, kami tidak akan membiarkan ia pergi sendiri. Kami selalu mengantar dan menjemputnya, meskipun cuma ke sekolah. Jadi, bagaimana sekiranya dari pihak keluarga ikut juga ke bandara bersama Anda?”
“Itu lebih baik,” kata saya.
***

Akhirnya, kami berangkat menuju bandara haji bersama Ahmad dan keluarganya. Dalam perjalanan ke bandara, saya bertanya kepada Ahmad, “Apa yang memotivasi Ahmad beramal untuk kepentingan Islam?”
Dia menjawab, “Aku mengharap ganjaran pahala dari sisi Allah.”
Kemudian saya bertanya lagi, “Apakah kamu hafal dzikir pagi dan sore hari?”
“Saya hafal,” jawabnya.
Lalu saya katakan, “Coba, saya mau mendengar.”
Ahmad membaca dzikir pagi dan sore hari. Banyak sekali dzikir dan doa yang dia hafal.
Akhirnya kami sampai di bandara haji. Saya sempat memberikan ceramah dan pesan kepada Jamaah Haji Indonesia di bandara.
Ahmad berada di samping saya. Ia sempat mengingatkan saya saat berdoa kepada jamaah, karena ada sebagian doa yang terlewatkan. Kemudian saya mengulangi doa hingga selesai. Setelah itu kami pulang.
Akhirnya, pihak kantor menerima Ahmad sebagai relawan. Ahmad rajin datang ke kantor dakwah setiap hari Jum’at, yang merupakan hari libur sekolah di Saudi Arabia.

2:: Mudah Menerima Nasehat
Pada umumnya, anak-anak tidak lepas dari kekeliruan dalam bersikap. Janganlah kita mudah marah kepada anak-anak, karena kita sebagai orang dewasa juga tidak lepas dari kekeliruan. Tinggal bagaimana cara kita memperbaiki kesalahannya dengan bijaksana.
Di hari Jum’at kami dan Ahmad berada di kantor, datang seorang tamu menemui Ustadz Abu Hamzah yang juga pengurus di Islamic Center. Tampak perbincangan serius antara mereka berdua.
Ahmad yang duduk di dekat mereka mendengarkan pembicaraan itu tiba-tiba menyambung dan memotong pembicaraan mereka. Mungkin, dia ingin membuktikan kepada mereka berdua bahwa ia mengerti topik yang sedang dibicarakan.
Pengurus Islamic Center tidak menggubris Ahmad dan tetap berbicara dengan tamnunya. Ia tidak marah dan memaklumi bahwa yang mengganggunya adalah anak-anak.
Saya yang berada di dekat mereka segera memanggil Ahmad dan mempersilahkannya dengan kegiatan lain. Saya mengajak Ahmad pergi ke toko kelontong. Saya hendak memberi hadiah buku untuk orang Indonesia yang bekerja di sana.
***

Toko kelontong itu jaraknya kurang lebih satu kilometer dari kantor. Sebelumnya Ahmad menawarkan saya agar naik mobilnya dan ia pun segera mencari supirnya. Saya berkeberatan karena belum minta izin orang tuanya. Dia berpendapat tidak mengapa.
Alhamdulillah, ternyata supir Ahmad tidak ada. Ia tengah mengikuti pengajian yang dibimbing oleh ustadz dari Indonesia.
Akhirnya, kami berdua berjalan kaki di bawah terik matahari pulang pergi menempuh jarak sekitar dua kilometer. Dalam perjalanan saya sempat bertanya kepadanya, “Di masa yang akan datang Ahmad ingin menjadi apa?”
                “Ingin menjadi pedagang,” jawab Ahmad mantap tanpa ragu-ragu.
Saya sempat menyesal telah membawa Ahmad berjalan kaki cukup jauh untuk anak seusianya di bawah terik matahari.
Dalam perjalanan pulang menuju kantor, ibunya telepon ke ponsel Ahmad yang dia bawa bila bepergian saja. Setelah selesai, saya katakan akan bicara dengan ibunya. Saya mohon maaf kepada ibunya karena membawa Ahmad jalan kaki. Ibunya mengatakan tidak mengapa, Ahmad adalah olahragawan dan fisiknya kuat, insya Allah.
***

Di hari yang lain, saat dalam perjalanan, seorang rekan kantor berbicara kepada saya. Di antara pembicaraan itu, rekan saya menceritakan bahwa di hari Jum’at yang lalu –saat itu saya tidak berada di kantor– datang tamu dari perusahaan komputer menemui pengurus kantor. Saat pengurus kantor dan tamu sedang berbincang-bincang, Ahmad memotong dan ikut melibatkan diri dalam pembicaraan mereka. Ada di antara rekan saya yang masih muda merasa jengkel kepada Ahmad.
Malamnya, segera saya memberitahukan Ummu Ahmad melalui telepon tentang dua kejadian itu. Yang satu saya saksikan sendiri dan yang kedua saya dengar dari teman sekantor bahwa Ahmad suka memotong dan turut campur dalam pembicaraan orang dewasa. Ummu Ahmad berterima kasih dengan adanya laporan ini dan berjanji akan menasihati Ahmad. Saya juga mengatakan kepadanya akan menasihari Ahmad juga, tetapi belum bisa secara langsung karena saya belum akrab dengannya. Saya  menulis surat kepada Ahmad tentang pentingnya saling memberi nasihat sesama muslim, di antaranya saya sebutkan,

صَدِيْقُكَ مَنْ صَدَقَكَ لاَ مَنْ صَدَّقَكَ

“Temanmu itu adalah yang bersikap jujur dan tulus kepadamu, bukan yang selalu membenarkanmu.”

Di dalam surat itu, saya sertakan pula sebuah hadits Shahih al-Bukhari. Di antara faidah hadits tersebut menunjukkan bahwa memotong pembicaraan orang lain adalah tidak sesuai dengan adab Islam. Namun, saya belum menjelaskan tentang faidah hadits tersebut kepadanya.
Baru setelah ibunya menasihati Ahmad di rumah, saya menasihatinya di kantor dengan cara meminta Ahmad menyebutkan faidah hadits yang pernah saya berikan kepadanya. Saya jelaskan juga maksud saya mengajarkan hadits tersebut.

Alhamdulillah, setelah itu terjadi perubahan yang positif. Ahmad tidak suka memotong pembicaraan orang dewasa, ia tahu kapan harus berbicara dan kapan harus diam mendengarkan. Saya sendiri perlu mencontohnya karena terkadang tanpa terasa suka memotong pembicaraan orang lain.

3:: Senang Bershadaqah
Di Jum’at yang lain, pengurus kantor menugaskan Ahmad untuk duduk di ruang istikbal (resepsionis). Tugasnya adalah menerima dan melayani tamu atau pembeli yang datang. Kantor Islamic Center menjual berbagai buku dan kaset dalam berbagai bahasa, seperti: bahasa Indonesia, bahasa Tagalog (Filipina), bahasa Urdu (Pakistan), bahasa Tamil, dan Sinhali (Srilangka), bahasa Inggris, dan lain-lain.
Sebelum melaksanakan tugas, Ahmad mengeluarkan uang sebesar lima real Saudi (sekitar dua belas ribu rupiah) dari sakunya, dan ia mengatakan kepada kami , “Ini uang milik saya, saya bawa dari rumah.”
Saya menjawab, “Kami percaya bahwa kaum adalah orang jujur.”
Tak lama saya melihat, ia menerima uang dari pembeli sebesar sepuluh real Saudi. Lalu, uang itu dimasukkan ke dalam sakunya dan dicacat.
Kemudian datang seorang pengunjung asal Pakistan. Orang itu membeli dua set buku berbahasa Inggris seharga sepuluh real dan tiga kaset berbahasa Urdu seharga sembilan real, hingga seluruhnya berjumlah sembilan belas real. Sang pembeli menyodorkan uang senilai lima puluh kepada Ahmad.
Karena tidak ada uang pecahan, Ahmad membawa uang itu sekretaris kantor di ruang lain untuk ditukar dengan uang pecahan.
Saya melihat buku berbahasa Inggris yang dibeli orang pakistan itu tertulis “Untuk non-Muslim (kafir)”. Maka, saya bertanya kepada pembeli itu karena khawatir ia salah beli, “Anda membeli buku berbahasa Inggris ini untuk siapa? Untuk dibaca sendiri atau untuk orang lain?”
Dia menjawab, “Saya akan berikan sebagai hadiah kepada teman saya di kantor. Ia bukan seorang Muslim. Semoga ia mendapatkan hidayah dan masuk Islam.”
Mendengar jawaban itu, saya bergegas menuju sekretaris kantor dan berkata kepadanya, “Bagaimana pendapatmu kalau buku yang dibeli oleh tamu kita ini dihadiahkan saja? Karena buku tersebut akan dihadiahkan kepada teman sekerjanya yang non-Muslim?”
Sekretaris kantor setuju. Sekretaris kantor mengatakan, “Jadi, jumlah seluruhnya yang ia beli hanya sembilan real dan kembalinya empat puluh satu real.”
Ahmad mendengar pembicaraan kami berdua, karena dia sedang menunggu uang kembalian pembeli itu. Spontan Ahmad mengeluarkan uang lima real miliknya dan ia berikan kepada sekretaris kantor sambil berkata, “Saya ikut menyumbang lima real untuk pembeli buku dakwah itu, jadi biar ia membayar empat real saja.”
Saya terharu mendengarnya, lalu berkata, “Biar saya yang menyumbang lima real. Ahmad cukup empat real saja.”
Dia bilang, “Ustadz saja yang empat real, dan saya yang lima real.”
Tetapi kemudian, saya agak memaksanya agar menerima kembalian sejumlah satu real sebagai uang jajannya.
Akhirnya, si pembeli itu mendapatkan beberapa buku dan kaset secara gratis. Uang lima puluh realnya dikembalikan. Dan dia pulang dengan girang.

4:: Memberikan Ceramah di Depan Jamaah Haji Indonesia
Suatu hari, saya menawarkan kepada Ahmad untuk bersedia memberikan ceramah di hadapan Jamaah Haji Indonesia. Saya senang ia menyanggupinya. Lalu, saya beritahukan materi dakwahnya tentang ukhuwwah islamiyyah‘persaudaraan dalam Islam’ dan poin-poinnya, yakni tentang pentingnya ukhuwwah, sarana-sarana memperkokoh ukhuwwah, dan perusak-perusak ukhuwwah.
Sekitar dua pekan kemudian, dia bertanya, “Bagaimana Ustadz, kalau saya sampaikan materi ini dengan membaca teks, soalnya saya belum pernah berceramah sebelum ini.”
Saya katakan, “Tidak mengapa. Kalau bisa tidak dengan teks itu lebih baik.”
***
Pada hari yang sudah dijadwalkan. Sebelum Maghrib, Ahmad tiba di Madinatul Hujjaj untuk memberikan ceramah di hadapan Jamaah Haji Indonesia. Ahmad datang dengan diantar kakek dan ibunya.
Saya sempat bertanya kepada Ahmad, berapa juz al-Qur`an yang telah ia hafal. Ia menjawab, “Sepuluh juz.”
Lalu, Ahmad memperlihatkan kepada saya isi pidatonya, dalam mukaddimah disebutkan shalawat kepada Nabi Muhammad yang telah menghancurkan patung-patung di medan al-wagha.
Ahmad sempat menanyakan kepada saya, “Apakah Ustadz tahu, apa itu al-wagha?”
Sebelum saya menjawab, ia terburu menjawab bahwa al-wagha artinya adalah ‘perang’. Saya katakan, “Masya Allah, kamu tahu arti al-wagha.”
Lalu saya sampaikan kepada Ahmad bahwa setelah berpidato nanti ada acara tanya-jawab.
Semula Ahmad berkeberatan dengan mengatakan, “Saya tidak mempunyai wewenang untuk berfatwa.”
Saya tersenyum dan menjelaskan bahwa pertanyaannya bukan tentang masalah hukum, tetapi yang sifatnya ta’aruf untuk mengenal lebih dekat lagi.
***

Setelah shalat maghrib berjamaah, saya menyampaikan pembukaan kepada jamaah haji bahwa hari ini kita kedatangan tamu, seorang anak kecil. Saya ceritakan bahwa perkenalan saya dengannya baru satu bulan ketika dia datang ke kantor Islamic Center mendaftarkan diri untuk menjadi relawan di sana. Saya ceritakan tentang perhatiannya terhadap hafalan al-Qur`an, doa-doa dan dzikir, kepandaiannya dalam bidang komputer dan bahasa Inggris, serta aktivitasnya yang padat dengan kegiatan olahraga, belajar komputer dan bahasa Inggris.
Setelah itu, Ahmad berceramah dalam bahasa Arab dengan membaca teks dan saya terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Ahmad berpidato dengan suara lantang. Ia kemukakan bahwa ukhuwwah islamiyyah lebih kuat daripada ikatan nasab ‘keturunan’. Kemudian, ia menceritakan sarana-sarana yang dapat memperkuat ukhuwwah islamiyyah seperti menyebarkan salam, saling mengunjungi, saling memberi hadiah, bertutur kata dengan baik dan santun. Kemudian, ia juga menjelaskan hal-hal yang dapat merusak ukhuwwah, seperti: ghibah ‘menggunjing’, namimah ‘adu domba’, dan menyebarluskan rahasia orang lain.
Di antara jamaah ada yang bertanya dalam bahasa Inggris. Ahmad menjawab pertanyaan dengan lancar.
“Mungkin Anda pernah tinggal di Eropa, Amerika, atau barangkali lahir di sana?” tanya seorang jamaah haji.
“Tidak, saya lahir di Saudi Arabia dan tidak pernah pergi ke Amerika atau Eropa,” jawab Ahmad.
“Sejak kapan Anda belajar bahasa Inggris?” tanya seorang jamaah haji lagi.
“Saya belajar bahasa Inggris sejak umur lima tahun,” jawab Ahmad.
Ahmad juga sempat ditanya tentang berapa jumlah saudaranya. Ia menyebutkan dua bersaudara: ia dan adiknya, Laila, yang masih duduk di kelas empat sekolah dasar.
Setelah selesai, para jamaah haji laki-laki menghampiri dan menyalami Ahmad dan kakeknya. Saya melihat di antara mereka ada yang menangis terharu.

5:: Ahmad dan Bencara Tsunami
Ahmad memiliki hati yang lembut. Ia sangat tersentuh ketika mengetahui keadaan kaum Muslimin lainnya yang berada di balik belahan dunia. Saat terjadi bencana Tsunami, tanggal 26 Desember 2004 M, ia mengetahui tentang keadaan para korban melalui berita-berita surat kabar yang ia baca. Di rumahnya memang tidak ada televisi. Dan ia tidak menghabiskan waktunya hanya untuk membaca berita dan informasi, tetapi sekedar tahu secara umum saja.
Di antara perbincangan saya dengan Ahmad di hari Jum’at adalah tentang bencana Tsunami. Dia sangat peduli untuk mendengar berita dari saya dan juga bersemangat menceritakan berbagai informasi yang ia dapatkan.
Tidak lama sesudah bencana Tsunami, seorang ibu yang tidak kami kenal menelpon kantor Islamic Center di Jeddah meminta agar da’i yang berasal dari Indonesia memberikan nasihat dalam bentuk rekaman untuk kaum muslimin di Aceh dan Sumatra Utara agar mereka sabar, ridha dengan ketentuan Allah, selalu bersangka baik kepada Allah, dan menggambil hikmah dari segala ujian serta cobaan yang berat ini.
Ahmadulillah, akhirnya usulan ibu tersebut terlaksana; dan setelah itu timbul ide baru agar nasihat itu dibukukan.
Saat penyusunan buku Hikmah Dibalik Musibah saya mendapat kesulitan dalam penulisan hadits-hadits Nabishallallahu ‘alahi wa sallam. Saat itu kantor belum mempunyai program komputer kumpulan hadits, sedangkan untuk mengetik satu per satu teks hadits memerlukan waktu yang agak panjang karena saya belum lancar menulis huruf-huruf Arab komputer.
Akhirnya, saya ingat Ahmad yang mahir komputer. Saya segera menelepon keluarganya, meminta izin agar Ahmad menyempatkan waktunya untuk membantu saya mengetik hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alahi wa sallamberkenaan dengan musibah. Dan dari pihak keluarga mengizinkan.
Saya pun memberitahu hadits-hadits yang perlu diketik. Ahmad mengetik hadits-hadits permintaan saya itu di rumahnya. Sebab di kantor sendiri pekerjaan yang dia tangani cukup banyak. Ia diberi tugas oleh pengurus kantor untuk mengetik urusan administrasi, sehingga praktis di kantor ia tidak punya waktu untuk mengetik hadits-hadits yang saya minta itu. Di rumahnya, juga banyak kegiatannya seperti belajar, ia juga aktif berloahraga, seperti: berenang, menunggang kuda, dan bela diri.
Ahmad akhirnya minta bantuan adiknya, Laila yang masih duduk di kelas IV sekolah dasar untuk membantunya.
Sang ibu mengawasinya dalam mengerjakan tugas-tugas tersebut. Jika ada hal yang keliru atau salah, baru dibenarkan.
Sepekan kemudian, ia menyerahkan hasil perkerjaanya ke kantor dan mengatakan, “Ustadz, saya mengetikan sekian halaman, dan adik saya sekian halaman.”

6:: Bergaul dengan Orang-Orang yang Baik
Orang tua Ahmad mengarahkan dan memotivasi anaknya agar menjadi relawan di kantor Islamic Center, di antara tujuannya agar anaknya bergaul dengan orang-orang yang baik dan bisa mencontoh mereka dan terhindar dari pergaulan yang tidak baik.
Suatu hari saya telepon ibu Ahmad, saya beritahukan ada seorang da’i yang usianya sekitar 70 tahun dari Jenewa, Swiss. Dia datang ke Makkah dalam rangka melaksanakan ibadah umrah dan silaturrahmi mengunjungi adik-adiknya di Mekkah dan Jeddah.
Saya katakan, “Sekarang masih di Makkah. Saya ada janji bertemu dengannya.” Saya menawarkan kepada ayah Ahmad, jika ada waktu bisa bertemu di Makkah.
Ibu Ahmad senang dengan rencana ini dan hendak membicarakannya kepada ayah Ahmad atau kakeknya, tapi belum bisa memastikan apakah bisa berangkat atau tidak.
Kemudian, saya juga teringat Ahmad, mungkin ia tidak berminat pergi ke Makkah untuk menemui orang tua itu dan mendengarkan nasihatnya. Saya katakan kepada ibu Ahmad, “Tolong tanyakan dulu kepada Ahmad, apakah ia minat atau tidak?”
Ibu Ahmad menjawab, “Saya kira kita tidak perlu menanyakan kepada Ahmad apakah dia berminat atau tidak, karena mengunjungi orang shalih adalah suatu kebaikan dan tugas kami sebagai orang tua adalah menumbuhkan minat anak.”

7:: Perpisahan
Tibalah saat saya pulang ke Indonesia di pertengahan bulan Safar 1426 H atau Maret 2005 M. Saya izin kepada ummu Ahmad untuk mengajak Ahmad dan supirnya al-Akh Musthafa makan siang di rumah makan.
“Seharusnya kami yang mengundang Anda makan di rumah karena Anda adalah tamu, tapi karena suami saya sedang keluar kota, maka Ahmad yang akan mentraktir Anda makan di rumah makan,” demikian jawaban ummu Ahmad.
Awalnya saya menolak, karena sayalah yang pertama punya gagasan, maka saya yang berhak untuk membayar.
Tetapi, beliau tetap memaksa, akhirnya saya mengalah.
***

Sekitar pukul 16.00 (empat sore), sepulang saya dari masjid, saya dapatkan Ahmad dan Musthafa sudah menunggu di depan kantor di mana saya tinggal di sana selama dua bulan lebih.
Sebelum berangkat ke rumah makan, Ahmad menyerahkan surat dari orang tuanya untuk saya baca, dan saya diminta untuk memberi masukan dan komentarnya.
Surat itu dari orang tua Ahmad untuk pihak sekolah tempat Ahmad belajar. Sebelumnya pihak sekolah telah menyampaikan surat kepada orang tua Ahmad untuk meminta izin, bahwa dalam liburan musim panas, pihak sekolah merencanakan study tour ke Malaysia guna mengetahui sistem pendidikannya; dan yang kedua untuk melihat kemegahan bangunan dan arsitektur di Malaysia.
Orang tua Ahmad tidak setuju dan menulis surat balasan kepada sekolah. Saya baca surat tersebut, orang tuanya menyebutukan alasan tidak mengizinkan Ahmad adalah bahwa tujuan study tour tersebut tidak begitu penting karena anaknya masih duduk di bangku SD. Kurang manfaatnya bagi anak SD untuk mengetahui sistem pendidikan universitas. Kalaupun dianggap penting, bisa dengan mendatangi beberapa pameran yang diadakan di Jeddah misalnya. Begitu juga melihat kemegahan arsitektur dan bangunan tidak begitu penting. Malah bisa berdampak negatif, yaitu anak-anak dapat tertipu dengan penampilan lahiriyah, bangga dengan bangunan megah dan lupa dengan yang lebih pokok, yaiu masalah pentingnya membenahi hati, akidah, ibadah, dan akhlak.
Dalam surat itu disebutkan pula jika pihak sekolah mempunyai program membawa para siswa ke negeri-negeri Islam yang sedang tertimpa bencana seperti ke Aceh misalnya. Untuk membantu korban bencana, kami dengan senang hati akan mengizinkan anak kami untuk ikut berangkat. Lebih-lebih lagi kita tahu bersama bahwa para misionaris Kristen banyak mengirim relawannya pergi ke negeri-negeri Islam yang tertimpa bencana, mereka melancarkan misinya dengan payung memberikan bantuan kemanusiaan.
Selesai membaca surat tersebut, saya beranggapan bahwa Ahmad tentu kecewa dengan keputusan orang tuanya ini. Saya ingin menghiburnya, saya pancing Ahmad dengan pertanyaan, “Apakah kamu kecewa tidak berangkat ke Malaysia?”
“Saya tidak kecewa,” jawabnya mantap.
“Mengapa tidak kecewa, padahal teman-temanmu berangkat kesana?” tanya saya lagi.
Ahmad menjelaskan kepada saya persis seperti surat orang tuanya untuk pihak sekolah.
Tidak terasa hari semakin sore, sedang kami belum makan siang.
***

Ahmad berkata kepada saya, “Ustadz bisa pilih ingin makan dirumah makan mana? Tidak mesti yang dekat, yang jauh juga boleh.”
Saya katakan kepadanya, “Yang dekat saja. Rumah makan at-Tazaj.”
Berangkalah kami bertiga ke rumah makan yang jaraknya dari kantor kurang satu kilometer.
Setelah pesan makanan, saya tanya kepada Ahmad, pilih minum pepsi cola, seven up, atau apa?
Dia menjawab saya pilih air putih aja. Musthafa mengatakan bahwa Ahmad memang sejak kecil tidak minum minuman seperti itu.
Selama kami makan kami berbicara, saya lupa apa yang kami bicarakan saat itu. Yang saya ingat, saya sempat bertanya kepadanya, “Apakah kamu sudah membaca surat yang saya tulis di Masjidil Haram di Mekkah untukmu?”
“Belum, karena semalam saya terlalu lelah hingga langsung tidur,” jawab Ahmad.
Setelah kami selesai makan, ada di antara pelayan restoran yang berasal dari Philipina memberikan hadiah berupa selebaran yang berwarna-warni untuk anak-anak dan diberikannya kepada Ahmad.
Semula Ahmad tidak mengambilnya, bisa jadi karena ia merasa bukan kanak-kanak lagi, saya segera minta kepada Ahmad untuk menerimanya.
Setelah kami sampai di mobil, saya katakan kita berusaha untuk menjaga perasaan orang lain. Jika kamu terima, berarti kamu menggembirakannya; dan jika kamu tolak bisa membuat dia sedih dan kecewa.
***

Dalam perjalanan ke kantor, Ahmad mengeluarkan dompetnya dan mengambil uang sebesar seratus real, lalu ia berikan kepada saya. Ahmad berkata, “Ustadz akan pulang ke Indonesia, ini saya titip uang seratus real dari tabungan saya untuk korban bencana alam tsunami di Aceh.”
Terhari saya mendengar ucapannya yang tulus keluar dari lubuk hati yang paling dalam. Sebenarnya saya tidak ingin menerima amanat ini karena saya juga tidak ingin mengecewakan Ahmad yang ingin berpartisipasi ikut andil menyumbang untuk korban bencana dan juga saya yakin bahwa Ahmad percaya kepada saya, maka akhirnya amanat tersebut saya terima.
“Insya Allah, saya akan sampaikan amanat ini kepada orang-orang yang berhak menerimanya,” kata saya.
Ia juga menawarkan diri untuk mengantar saya sampai airport. Saya katakan bahwa saya sudah berjanji dengan teman, beliau yang akan mengantarkan saya ke bandara, yang kedua saya tahu bahwa jadwal kamu sangat padat, saya tidak mau mengganggu kegiatanmu.
Tibalah saat perpisahan, Ahmad menyalami serta mendoakan saya. Apakah saya dapat berjumpa kembali dengannya atau tidak? Hanya Allah saja yang tahu.
Yang jelas banyak sekali pelajaran yang saya dapatkan dari Ahmad dan keluarganya. Saya tidak tahu bagaimana membalasnya, tapi minimal saya akan selalu mendoakan Ahmad dan keluarganya di samping doa saya untuk mereka yang telah banyak berjasa membimbing dan mendidik saya.
Semoga Allah menjadikan amalan mereka dicatat-Nya dalam timbangan kebaikan mereka, di hari di mana tidaklah bermanfaat harta maupun anak kecuali yang menemui Allah dengan hati yang sejahtera.
Wahai Rabb kami janganlah Engkau palingkan hati kami setelah Engkau beri hidayah kepada kami dan berilah untuk kami rahmat dari sisi-Mu, sesungguhnya Engkau Maha Pemberi.
!

Referensi:
Da’i Cilik karya Fariq Gasim Anuz, Penerbit: Darul Falah, cet. ke-1 th. 1427 H/2006 M, hal. 13-55

Catatan:
Saya menulis ulang ini tanpa izin langsung dari pengarangnya. Saya berharap pengarangnya tidak keberatan karena untuk dakwah bukan dikomersialkan.
Demi Allah, kisah ini sangat menyentuh hati saya. Sudah dua kali saya membacanya, dan baru kemudian tergerak untuk menyalin ulang pada kali kedua tersebut.
Sebenarnya, saya keberatan untuk menyalin ulang kisah ini. Sebab, setiap peristiwa dalam kisah ini membuat saya malu saat saya bandingkan dengan diri sendiri. Namun, saya berharap kisah ini bisa dibaca oleh banyak orang sehingga mereka bisa mengambil pelajaran dari Ahmad.
Ahmad, nama yang indah seperti orangnya, dan indah seperti akhlaknya. Semoga Allah memperbanyak anak-anak seperti Ahmad di tengah kaum muslimin, dan memberi kita anak keturunan seperti Ahmad. Sungguh Allah Maha Pengabul doa-doa dan Mahaluas karunianya.!

Selesai ditulis 1 Maret 2011
Abu Zur’ah ath-Thaybi
www.abuzurah.cu.cc

0 KOMENTAR:

Post a Comment